CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Senin, 13 Agustus 2012

Twilight (1. Pandangan Pertama - Page 3)


Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam.
Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau : pepohonan dengan batang-batang tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun-daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring di antara dedaunannya yang hijau.
Terlalu hijau—sebuah planet yang asing.
Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil dengan 2 kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku di awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruku—well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kau temukan di lokasi kecelakaan dengan cat yang tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.
“Wow, Dad, aku suka! Trims!” Sekarang hari-hari menakutkan yang menjelang takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan 2 mil ke sekolah hujan-hujan atau menumpang mobil patroli polisi.
“Aku senang kau menyukainya,” kata Charlie parau, sekali lagi merasa malu.
Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barang-barangku ke atas. Aku mendapati kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa kecilku. Satu-satunya perubahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada di sudut.
Hanya ada 1 kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan hal itu.
Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tidak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357—sekarang 358, sedangkan murid SMP di tempat asalku ada lebih dari 700 orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh.
Barangkali takkan begitu jadinya bila kau berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus berkulit coklat, sporty, pirang—pemain voli, atau pemandu sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari.
Sebaliknya aku maah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing, tapi lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diriku sendiri—dan melukai diriku atau siapapun di dekatku.
Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku dan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku
8 | P a g e
terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening, nyaris transparan—tapi semua itu tergantung warna. Disini aku tidak memiliki warna.

Tidak ada komentar: